PGRI: "Jangan Justifikasi,
Biarkan Mendikbud Baru Bekerja Terlebih Dahulu"
PGRI mengapresiasi pengangkatan
pak Nadiem Makarim sebagai Mendikbud pada kabinet Indonesia maju.
Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr.
Unifah Rosyidi, M.Pd., meminta semua pihak agar memberi kesempatan terlebih
dahulu kepada Pak Nadiem untuk bekerja. “Jangan langsung menjustifikasi dan
resisten, sebelum beliau bekerja”, ujar Unifah ketika diwawancara Suara Guru.
PGRI sangat respek atas sikap
arif Mendikbud, Nadiem Makarim yang menyatakan bahwa 100 hari pertama kerja
adalah mau belajar pada para pakar pendidikan, walaupun beliau juga memahami
kelebihan yang dimilikinya adalah
memahami lapangan kerja di masa depan sebagai dampak era digital dan industri
4.0.
Dengan pengangkatan Pak Nadiem
sebagai Mendikbud, diharapkan ada lompatan dalam strategi pendidikan sehingga Indonesia dapat
mewujudkan bonus demografi (bukan bencana demografi) di tahun 2045.
PGRI juga mengapresiasi kebijakan
kabinet Indonesia maju, kembali menggabungkan PAUD-Dikmas dan Dikdasmen dengan
Dikti karena sistem pendidikan nasional akan lebih terintegrasi dan terjadi
kesinambungan sistem pendidikan nasional dari jenjang PAUD sampai PT. Bahkan akan
sangat bagus, jika pendidikan ditangani oleh satu kementerian, agar lebih
terintegrasi serta hanya ada satu standar dan sistem pendidikan nasional.
Urusan pendidikan semua ditangani oleh Kemendikbud.
Menurut Ibu Unifah, ada beberapa
tantangan yang harus segera dipahami dan disikapi oleh Mendikbud baru dalam
melakukan program-program lompatan dan terobosan untuk mewujudkan “SDM Unggul
Indonesia maju”, antara lain: (a) persoalan guru yang belum terstandar, karena
hingga saat ini masih banyak guru honorer yang membantu jalannya proses
pendidikan di sekolah. Masalah ini sudah berlarut-larut belum terselesaikan
tuntas. PGRI mendorong agar para guru honorer ini memiliki kesejahteraan dan
kompetensi yang lebih dari cukup. (b) Mengubah kebiasaan, paradigma, dan pola
lama birokrasi yang ada, supaya dapat seiring dan seirama dengan menteri. (c)
hambatan regulasi, terutama terkait dengan pembagian kewenangan pengelolaan
pendidikan antara pemerintah pusat dan daerah, pengelolaan pendidikan yang
tidak tunggal di bawah satu kementerian, dan lain sebagainya.
Terkait dengan antisipasi pola
pembelajaran abad 21 yang berbasis digital, PGRI sudah membentuk PSLCC(PGRI
Smart Learning Centre and Character) yang diharapkan dapat seiring dan
mendukung program-program yang akan dikembangkan oleh Mendikbud baru.
Di tempat terpisah, Prof. Dr.
Supardi, salah satu Ketua PB PGRI mengatakan bahwa pola pendidikan di abad
ke-21 menekankan pada kompetensi dan karakter yaitu 5C++. Kompetensi 5C
meliputi: Critical Thinking, Creative and inovatif thinking, Colaborative and
Cooperatif, Communication, dan Confident. ++ nya, yaitu penguatan karakter
minimal meliputi karakter kesadaran sebagai warga negara global dan kesadaran
sebagai warga negara lokal.
Selain itu, kesadaran sebagai
warga negara global dimaksudkan bahwa peserta didik harus dibekali literasi ICT
dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Sedangkan kesadaran sebagai warga
negara lokal dimaksudkan bahwa peserta didik harus mampu dan mau melestarikan
budaya bangsa yang berlandaskan Pancasila sebagai ciri dan identitas bangsa.
Anak bangsa tidak boleh hanyut tergerus oleh budaya asing yang tidak sejalan
dengan nilai-nilai budaya bangsa. “Think and Act Globally also Locally, karena
tanpa adanya identitas diri bangsa, maka akan hilanglah kita sebagai suatu
bangsa”, ujar Prof. Supardi.
Menurut Prof. Supardi, urusan
pendidikan alangkah baiknya jika hanya ditangani oleh satu kementerian, dan
tidak ada lagi kementerian lain yang menangani pendidikan. “Kalau pemerintah
memusatkan urusan pendidikan dalam satu kementerian, maka amanah UUD tentang
alokasi 20% anggaran pendidikan akan efektif, dan tidak ada standar ganda
sistem pendidikan dalam tataran konsep maupun praksisnya”, ujarnya menutup
perbincangan dengan Suara Guru.